Jakarta (ANTARA) – Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi hak yang dinantikan oleh karyawan setiap menjelang hari besar keagamaan. Bagi pekerja, THR bukan sekadar bonus, melainkan bentuk penghargaan atas kerja keras mereka.
Namun, tidak semua perusahaan mampu atau bersedia memenuhi kewajiban ini, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya praktik tersebut ditinjau dari berbagai perspektif, termasuk dalam ajaran Islam.
Dalam Islam, konsep kesejahteraan pekerja mendapat perhatian khusus, dengan prinsip keadilan dan tanggung jawab yang menjadi dasar hubungan antara majikan dan karyawan. Ketika hak-hak pekerja tidak dipenuhi, muncul dilema moral yang perlu dicermati lebih dalam.
Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terkait perusahaan yang tidak membayar THR?
Baca juga: Menkeu: Penyaluran THR ASN pusat capai 94,73 persen
Hukum perusahaan tidak bayar THR kepada karyawan menurut perspektif Islam
Dalam perspektif hukum Islam, perusahaan yang tidak membayar Tunjangan Hari Raya (THR) kepada karyawan dianggap melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kewajiban memenuhi hak pekerja.
Meskipun pada awalnya pemberian THR bersifat sunnah atau anjuran, ketika pemerintah menetapkan peraturan yang mewajibkan pembayaran THR, maka hukumnya menjadi wajib bagi pengusaha untuk mematuhinya.
Oleh karena itu, menunda atau tidak memberikan THR kepada karyawan dianggap haram karena termasuk menahan hak orang lain yang seharusnya diterima tepat waktu.
Perusahaan memiliki kewajiban untuk membayarkan THR, karena tunjangan ini telah menjadi ‘urf yang mengikat bagi perusahaan. Sebagai rujukan, terdapat hadis Nabi Muhammad saw yang dapat dijadikan pedoman berikut ini:
“من ولى للناس عملاً , وليس له منزل فليتخذ منزلاً, أو ليس له زوجة فليتزوج, أو ليس له خادم فليتخذ خادماً, أو ليس له دابة فليتخذ دابة , ومن أصاب شيئاً غير ذلك فهو غال” (رواه الإمام أحمد
Artinya: Barangsiapa yang diserahi suatu jabatan sedang dia tidak punya rumah, berikanlah rumah untuknya. Bila tidak punya istri kawinkanlah dia, bila tidak punya pembantu, berilah pembantu dan bila tidak punya kendaraan siapkanlah ia kendaraan. Siapa yang mengambil sesuatu selain itu dia adalah koruptor.
Baca juga: Lokasi ATM Mandiri Rp10 ribu di Jakarta, solusi praktis bagi THR
Mafhum mukhalafah dari hadis tersebut menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi karyawannya. Dalam Islam, pekerjaan yang disertai dengan jaminan sosial yang diakui dalam hukum positif dianggap sebagai bagian dari upah yang harus diberikan kepada karyawan tanpa penundaan.
Oleh karena itu, pembayaran THR sebaiknya dipercepat, mengingat hal ini merupakan tanggung jawab perusahaan yang termasuk dalam kewajiban mereka terhadap pekerja. Dengan demikian, hak karyawan dapat terpenuhi sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Selain itu, dalam hukum perundang-undangan yang telah ditetapkan di Indonesia, pembayaran THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021.
Kedua peraturan tersebut menegaskan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja atau buruh yang telah bekerja selama satu bulan secara terus menerus atau lebih. Pembayaran THR harus dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Pengusaha yang terlambat atau tidak membayar THR akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayar dan sanksi administratif, seperti teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, hingga pembekuan kegiatan usaha.
Dengan demikian, baik menurut hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia, perusahaan yang tidak membayar THR kepada karyawan melanggar ketentuan yang berlaku dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang ada.
Baca juga: Krom Bank hadirkan fitur yang dukung pengelolaan THR lebih optimal
Baca juga: Ikut servis gratis Baznas, Ojol: Lumayan uangnya untuk THR orang tua
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025